BAB I
PENDAHULUAN
A. TUJUAN
PRAKTIKUM
1.
Untuk
mengetahui kadar besi dalm air limbah tahu kampung tandang semarang
2.
Untuk
mengetahui penurunan kadar besi dalam air limbah setelah dilakukan intervensi
dengan cara menggunakan metode kaporit , kapur , dan tawas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
LIMBAH TAHU
Tahu
adalah salah satu makanan tradisional yang biasa dikonsumsi setiap hari oleh
orang Indonesia. Proses produksi tahu menghasilkan 2 jenis limbah, yaitu limbah
padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak, sedangkan limbah cair dibuang langsung ke lingkungan. Limbah cair
pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi(Mamuja, M. G,
2011).
Industri tahu menggunakan bahan baku dasar kedelai asam cuka (Cuka Batur) dan
air. Proses pemasakan tahu dilakukan dengan menggunakan steam dan operasional steam
membutuhkan bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan berupa kayu bakar, berambut,
grajen, minyak tanah, dll. Karakteristik dasar industri tahu yang banyak kita jumpai adalah
penggunaan teknologi yang sangat sederhana dengan menejemen yang tradisional.
Tenaga kerja yang pada umumnya tidak mempunyai keterampilan tertentu.
Lokasi kebanyakan menyatu dengan pemukiman penduduk dengan lahan yang terbatas,
sehingga muncul permasalahan dengan warga sekitar tentang keberadaan industri tahu yang
terkait dengan ganguan pencemaran limbahnya.
Tanpa
proses penanganan dengan baik, limbah tahu menyebabkan dampak negatif seperti
polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk,
dan menurunkan estetika lingkungan sekitar. Banyak pabrik tahu skala rumah
tangga di Indonesia tidak memiliki proses pengolahan limbah cair.
Ketidakinginan pemilik pabrik tahu untuk mengolah limbah cairnya disebabkan
karena kompleks dan tidak efisiennya proses pengolahan limbah, ditambah lagi
menghasilkan nilai tambah. Padahal, limbah cair pabrik tahu memiliki kandungan
senyawa organik tinggi yang memiliki potensi untuk menghasilkan biogas melalui
proses anaerobik. Pada umumnya, biogas mengandung 50-80% metana, CO2, H2S dan
sedikit air, yang bisa dijadikan sebagai pengganti minyak tanah atau LPG
(Mamuja, M. G, 2011).
Dengan
mengkonversi limbah cair pabrik tahu menjadi biogas, pemilik pabrik tahu tidak
hanya berkontribusi dalam menjaga lingkungan, tetapi juga meningkatkan
pendapatannya dengan mengurangi konsumsi bahan bakar pada proses pembuatan
tahu. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu
adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut air dadih.
Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai.
Limbah cair ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu
sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari sungai (Mamuja, M. G, 2011).
Jumlah
limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuat tahu kira-kira 15-20 l/kg
bahan baku kedelai, sedangkan bahan pencemarnya kira-kira untuk TSS sebesar 30
kg/kg bahan baku kedelai, BOD 65 g/kg bahan baku kedelai dan COD 130 g/kg bahan
baku kedelai (Emedi dan Bapedal, 1994).
Pada
industri tempe, sebagian besar limbah cair yang dihasilkan berasal dari lokasi
pemasakan kedelai, pencucian kedelai, peralatan proses dan lantai. Karakter
limbah cair yang dihasilkan berupa bahan organik padatan tersuspensi kulit,
selaput lendir dan bahan organik lain. Industri pembuatan tahu dan tempe harus
berhati-hati dalam program kebersihan pabrik dan pemeliharaan peralatan yang
baik karena secara langsung hal tersebut dapat mengurangi kandungan bahan
protein dan organik yang terbawa dalam limbah cair.
B.
BESI (Fe)
1.
Pengertian
Besi (Fe)
Besi (Fe)
adalah logam berwarna putih keperakan, liat dan dapat dibentuk. Fe di dalam
susunan unsur berkala termasuk logam golongan VIII, dengan berat atom
55,85g.mol-1, nomor atom 26, berat jenis 7.86g.cm-3 dan
umumnya mempunyai valensi 2 dan 3 (selain 1, 4, 6). Besi (Fe) adalah logam yang
dihasilkan dari bijih besi, dan jarang dijumpai dalam keadaan bebas, untuk
mendapatkan unsur besi, campuran lain harus dipisahkan melalui penguraian
kimia. Besi digunakan dalam proses produksi besi baja, yang bukan hanya unsur
besi saja tetapi dalam bentuk alloy (campuran beberapa logam dan bukan logam,
terutama karbon). (Eaton Et.al, 2005; Rumapea,
2009 dan Parulian, 2009).
2. Sumber Keberadaan
Kandungan
Fe di bumi sekitar 6.22 %, di tanah sekitar 0.5 – 4.3%, di sungai sekitar 0.7
mg/l, di air tanah sekitar 0.1 – 10 mg/l, air laut sekitar 1 – 3 ppb, pada air
minum tidak lebih dari 200 ppb. Pada air permukaan biasanya kandungan zat besi
relatif rendah yakni jarang melebihi 1 mg/L sedangkan konsentrasi besi pada air
tanah bervariasi mulai dan 0,01 mg/l sampai dengan +25 mg/l. Di alam
biasanya banyak terdapat di dalam bijih besi hematite, magnetite, taconite,
limonite, goethite, siderite dan pyrite (FeS),
sedangkan di dalam air umumnya dalam bentuk terlarut sebagai senyawa garam
ferri (Fe3+) atau garam ferro (Fe2+);
tersuspensi sebagai butir koloidal (diameter < 1 mm) atau lebih besar
seperti, Fe(OH)3; dan tergabung dengan zat
organik atau zat padat yang anorganik (seperti tanah liat dan partikel halus
terdispersi). Senyawa ferro dalam air yang sering dijumpai adalah FeO, FeSO4, FeSO4.7 H2O, FeCO3, Fe(OH)2, FeCl2 sedangkan
senyawa ferri yang sering dijumpai yaitu FePO4, Fe2O3, FeCl3, Fe(OH)3. (Eaton Et.al, 2005; Said, 2003;
Perpamsi, 2002; Alaerts,1987 dan www.lenntech.com).
3.
Standar, Pengaruh Dan Toksisitas
Pada air
yang tidak mengandung oksigen O2, seperti
seringkali air tanah, besi berada sebagai Fe2+ yang
cukup dapat terlarut, sedangkan pada air sungai yang mengalir dan terjadi
aerasi, Fe2+ teroksidasi
menjadi Fe3+ yang
sulit larut pada pH 6 sampai 8 (kelarutan hanya di bawah beberapa m g/l),
bahkan dapat menjadi ferihidroksida Fe(OH)3, atau salah satu
jenis oksida yang merupakan zat padat dan bisa mengendap. (Alaerts,1987)
Konsentrasi
besi dalam air minum dibatasi maksimum 0.3 mg/l (sesuai Kepmenkes RI No.
907/MENKES/SK/VII/2002), hal ini berdasarkan alasan masalah warna, rasa serta
timbulnya kerak yang menempel pada sistem perpipaan. Manusia dan mahluk hidup lainnya
dalam kadar tertentu memerlukan zat besi sebagai nutrient tetapi untuk kadar
yang berlebihan perlu dihindari. Garam ferro misalnya (FeSO4) dengan
konsentrasi 0.1 – 0.2 mg/L dapat menimbulkan rasa yang tidak enak pada air
minum. Dengan dasar ini standar air minum WHO untuk Eropa menetapkan kadar besi
dalam air minum maksium 0.1 mg/l sedangkan USEPA menetapkan kadar maksimum
dalam air yaitu 0.3 mg/l. (Arifin, 2007; Eaton Et.al, 2005 dan Said,
2003).
Unsur
besi mempunyai sifat – sifat yang sangat mirip dengan mangan sehingga
pengaruhnya juga hampir sama meskipun beberapa hal berbeda terutama nilai
ambang batas. Di dalam air minum besi (Fe) dan mangan dapat berpengaruh seperti
tersebut dibawah ini :
Menimbulkan
penyumbatan pada pipa disebabkan :
Secara langsung
oleh deposit (tubercule) yang disebabkan oleh endapan besi sedangkan secara tidak langsung,
disebabkan oleh kumpulan bakteri besi yang hidup di dalam pipa, karena air yang
mengandung besi, disukai oleh bakteri besi.
1. Selain itu kumpulan bakteri ini dapat meninggikan gaya
gesek (losses) yang juga
berakibat meningkatnya kebutuhan energi. Selain itu pula apabila bakteri
tersebut mengalami degradasi dapat menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada
air.
2. Besi dan mangan sendiri dalam konsentrasi yang lebih besar
dan beberapa mg/l, akan memberikan suatu rasa pada air yang menggambarkan rasa
logam, atau rasa obat.
3. Keberadaan besi dan mangan juga dapat memberikan
kenampakan keruh dan berwarna pada air dan meninggalkan noda pada pakaian yang
dicuci dengan menggunakan air ini, oleh karena itu sangat tidak diharapkan pada
industri kertas, pencelupan/textil dan pabrik minuman.
4. Meninggalkan noda pada bak-bak kamar mandi dan
peralatan lainnya (noda kecoklatan disebabkan oleh besi dan kehitaman oleh
mangan).
5. Endapan logam ini juga yang dapat memberikan masalah
pada sistem penyediaan air secara individu (sumur).
6. Pada ion
exchanger endapan besi dan mangan yang terbentuk,
seringkali mengakibatkan penyumbatan atau menyelubungi media pertukaran ion
(resin), yang mengakibatkan hilangnya kapasitas pertukaran ion.
7. Menyebabkan keluhan pada konsumen (seperti kasus “red water”) bila endapan besi dan mangan
yang terakumulasi di dalam pipa, tersuspensi kembali disebabkan oleh adanya
kenaikan debit atau kenaikan tekanan di dalam pipa/sistem distribusi, sehingga
akan terbawa ke konsumen.
8. Fe2+ juga menimbulkan corrosive yang disebabkan oleh bakteri golonganCrenothric dan Clonothrix. (Oktiawan, dkk., 2007. Saifudin, 2005 ; Said, 2003 dan Perpamsi, 2002).
Zat
besi (Fe) adalah merupakan suatu komponen dari berbagai enzim yang mempengaruhi
seluruh reaksi kimia yang penting di dalam tubuh meskipun sukar diserap
(10-15%). Besi juga merupakan komponen dari hemoglobin yaitu sekitar 75%, yang
memungkinkan sel darah merah membawa oksigen dan mengantarkannya ke jaringan
tubuh. Kelebihan zat besi (Fe) bisa menyebabkan keracunan dimana terjadi
muntah, kerusakan usus, penuaan dini hingga kematian mendadak, mudah marah,
radang sendi, cacat lahir, gusi berdarah, kanker, cardiomyopathies, sirosis ginjal, sembelit,
diabetes, diare, pusing, mudah lelah, kulit kehitam – hitaman, sakit kepala,
gagal hati, hepatitis, mudah emosi, hiperaktif, hipertensi, infeksi, insomnia,
sakit liver, masalah mental, rasa logam di mulut, myasthenia
gravis, nausea, nevi, mudah gelisah dan iritasi, parkinson, rematik,
sikoprenia, sariawan perut, sickle-cell anemia, keras kepala,strabismus, gangguan penyerapan vitamin
dan mineral, serta hemokromatis.(Parulian, 2009 dan Paul C. Eck, Et.al., 1989).
Besi
(Fe) dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan haemoglobin sehingga jika
kekurangan besi (Fe) akan mempengaruhi pembentukan haemoglobin tersebut. Besi
(Fe) juga terdapat dalam serum protein yang disebut dengan “transferin”berperan untuk mentransfer besi
(Fe) dari jaringan yang satu ke jaringan lain. Besi (Fe) juga berperan dalam
aktifitas beberapa enzim seperti sitokrom dan flavo protein. Apabila tubuh
tidak mampu mengekskresikan besi (Fe) akan menjadi akumulasi besi (Fe)
karenanya warna kulit menjadi hitam. Debu besi (Fe) juga dapat diakumulasi di
dalam alveori menyebabkan berkurangnya fungsi paru-paru. Kekurangan besi (Fe)
dalam diet akan mengakibatkan defisiensi yaitu kehilangan darah yang berat yang
sering terjadi pada penderita tumor saluran pencernaan, lambung dan pada menstruasi.
Defisiensi besi (Fe) menimbulkan gejala anemia seperti kelemahan, fatigue,
sulit bernafas waktu berolahraga, kepala pusing, diare, penurunan nafsu makan,
kulit pucat, kuku berkerut, kasar dan cekung serta terasa dingin pada tangan
dan kaki. (Rumapea, 2009
dan Siregar, 2009).
BAB III
PROSEDUR KERJA
A. ALAT
Ø
Gelas
ukur 500 ml
Ø
Pipet
Ø
Timbangan
Ø
Pengaduk
Ø
Saringan
pasir
B. BAHAN
Ø
Air
limbah tahu 1 liter
Ø
Kaporit
1 g
Ø
Kapur
1 g
Ø
Tawas
1 g
BAB V
PEMBAHASAN
Limbah
tahu yang dijadikan sample memiliki angka kandungan Fe awal sebesar mg/l, walaupun
angka tersebut sudah berada di bawah baku mutu , namun tetap saja pada
percobaan kali ini harus di lihat angka penurunannya dengan metode kaporit ,
kapur , dan tawas.
Setelah
dilakukan intervensi, didapatkan angka kandungan Fe sebesar mg/l dengan begitu
dapat dilihat besar angka penurunan Fe awal sebelum dilakukan intervensi dan
sesudah dilakukan intervensi.
Penurunan
kandungan Fe mungkin tidak sebesar penurunan Fe pada metode yang lain seperti
aerasi. Hal itu disebabkan metode kaporit , kapur dan tawas pada dasarnya hanya
mengikat zat Fe dan kotoran – kotoran yang ada di dalam air limbah.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ahring, B.K., 1995, Methanogenesis in the Thermophilic Biogas
Reactors, dalam
MetCalf & Eddy, 2003,
Wastewater Engineering : Treatment, Disposal and Reuse,
4th ed., McGraw Hill Book
Co., New York
2.
Andrews, J.F., Cole, R.D., and Pearson, E.A., 1962, Kinetics and
Characteristics of
Multistage Methane
Fermentation, dalam Ramalho, A.S., 1983, Introduction to
Wastewater Treatment
Process, 2nd ed., Academic Press, New York.
3.
APHA, 1992, Standard Methods for Examination of Water and
Wastewater, 18th ed.,
American Public Health
Assosiation, Washington.
4.
Archer, D.B., and Kirshop, B.H., 1990, Anaerobic Digetion : a
Waste Treatment
Technology, dalam BPPT,
1997a, Teknologi Pengolahan Limbah Tahu-Tempe
Dengan Proses Biofilter
Anaerob dan Aerob, http://www.enviro.bppt.go.id (tgl. 24
september 2008).
5.
Balch, W.E., Schoberlh, S., Tanner, R.S., and Wolfe, R.S., 1977,
Acetobacterium, a NewGenus of Hydrogen Oxidizing, Carbon dioxide-Reducing,
Anaerobic Bacteria,
dalam BPPT, 1997a, Teknologi
Pengolahan Limbah Tahu-Tempe Dengan Proses
Biofilter Anaerob dan
Aerob, http://www.enviro.bppt.go.id
(tgl. 24
september
2008)
6.
Bappeda Medan, 1993, Penelitian Pencemaran Air Limbah Di Sentra
Industri Kecil
Tahu/ Tempe di Kec. Medan
Tuntungan Kotamadya Dati II Medan, Laporan
Penelitian, Bappeda TK II
Medan, Medan.
7.
Bapedal, 1998, Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri
Pulp dan Kertas di Indonesia, BAPEDAL, Jakarta
8.
Bernard Enrico, 2009, Pemanfaatan Biji Asam Jawa Sebagai Koagulan
Alternatif Untuk Proses Penjernihan Limbah Cair Industri Tahu, Tesis,
Universitas Sumatera Utara,
Medan.
9.
BPPT, 1997a, Teknologi Pengolahan Limbah Tahu-Tempe Dengan Proses
Biofilter
Anaerob dan Aerob, http://www.enviro.bppt.go.id
(tgl. 24
september 2008)
Burhani Rahman, Biogas,
Sumber Energi Alternatif, http://www.energi.lipi.go.id (tgl 17
januari 2009)
10.
Dhamayanthie, I., 2000, Pengolahan Limbah Cair Industri Textile
dengan Proses
Anaerob, Thesis Master,
Program Studi Teknik Kimia, Program Proses Sarjana ITB Bandung.